Ada beberapa
tahapan yang musti dilalui dalam upacara pernikahan masyarakat Bugis.
Upacara pernikahan dalam adat Bugis dipandang sebagai sesuatu yang sakral
dan mengandung nilai-nilai kesucian, maka dari itu pernikahan wajib terlaksana
di atas dua landasan utama, kata saya memulai penjelasan.
“Dua hal
yang melandasi pernikahan masyarakat Bugis, yakni niat yang lurus dan jiwa yang
suci bersih. Itu tergambar dalam prosesi Mappacci,
Mappacci
adalah salah satu rangkaian dari upacara pernikahan Bugis yang bermakna
‘pensucian diri’. Sebuah pantun Bugis (elong ugi) menyatakan : Duami
kuala sappo unganna panasae na belo-belona kanukue. Yang artinya ‘Ada dua
yang kuambil sebagai pagar diri dalam rumah tangga, yaitu kembangnya buah
nangka dan perhiasannya kuku jari.
Sejenak
kulihat dahi si kawan berkerut dan karena saya diam ia kemudian bertanya, ”Apa
kelebihan dari kembang buah nangka serta hiasannya kuku, sampai-sampai keduanya
bisa dijadikan sebagai pagar diri
Ungkapan
dalam Elong ugi itu sama sekali tidak mengandung takhayul atau
syirik. Ungkapan itu mengandung arti yang sangat penting dan menjadi dasar
dalam menjalankan suatu perkawinan.
‘Unganna
panasae’ atau kembang buah nangka dalam bahasa Bugis disebut ’lempu’,
bermakna lurus merupakan simbol niat yang lurus.
Sedangkan ’belo-belona
kanukue’ atau hiasannya kuku disebut ’pacci’ yang artinya bersih,
melambangkan kesucian atau jiwa yang jernih.
meletakkan
pacci di telapak tangan calon mempelai
”Itulah
mengapa upacara ’Mappacci’ atau mensucikan diri menjadi sesuatu yang harus
dijalani dalam mengawali prosesi pernikahan Bugis
“Acara ‘mappacci’ itu dilaksanakan pada malam
menjelang acara akad nikah/ijab kabul keesokan harinya, itu sebabnya biasa
disebut malam mappacci, biasa juga disebut ‘tudang
penni’. Mungkin kalo di Jawa semacam midodareni, atau dalam adat
Melayu hampir sama dengan acara malam berinai. Acara melepas lajang
gitu deh,Mas…he he he …tetapi memiliki makna filosopi”
Si kawan
terlihat mulai manggut-manggut, nampaknya dia serius ingin mengetahui lebih
jauh tentang adat pernikahan Bugis. ”Lalu apa saja yang perlu dipersiapkan
dalam acara mappacci itu dan bagaimana pelaksanaannya ?” tanyanya kemudian.
Inti dari
upacara ini adalah pemberian daun pacci atau daun pacar pada
calon mempelai, maka daun pacar atau pacci menjadi sesuatu yang harus ada dalam
acara itu. Tata cara pelaksanaannya yaitu para kerabat atau beberapa tamu yang
telah dipilih, satu per satu mengambil sedikit daun pacci yang telah dihaluskan
lalu diletakkan di telapak tangan calon mempelai.
Daun pacci
itu dikaitkan dengan kata ‘paccing‘ yang maknanya adalah kebersihan
dan kesucian. Dengan demikian pelaksanaan mappaci mengandung makna kebersihan
raga dan kesucian jiwa.
calon
mempelai laki-laki juga melakukan acara mappacci
Tamu yang
diminta untuk meletakkan pacci biasanya adalah orang-orang yang mempunyai
kedudukan sosial yang baik dan mempunyai kehidupan rumah tangga yang bahagia.
Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak di kemudian hari
dapat hidup bahagia seperti mereka yang meletakkan pacci di atas tangannya.
Acara itu dilakukan
baik bagi calon mempelai perempuan maupun calon mempelai laki-laki, hanya saja
tempat pelaksanaannya terpisah, di rumah masing-masing. Sedikitnya ada 6 macam
perlengkapan yang harus disiapkan dalam pelaksanaan mappacci,
Upacara
mappacci menggunakan 6 (enam) macam alat perlengkapan yang terdiri dari; bantal,
sarung 4 lembar, daun pisang, daun nangka, daun pacci,
dan suluh atau lilin. Keenam alat perlengkapan tersebut
masing-masing mengandung makna filosofi, yakni:
perlengkapan
mappacci
Bantal adalah simbol sipakatau
atau saling menghargai, itu tergambar dari fungsinya
sebagai pengalas kepala saat tidur. Kepala merupakan bagian tubuh yang paling
mulia dan dihargai. Begitu pula, sosok manusia baru dapat dikenal bilamana
dilihat wajahnya, dan wajah adalah bagian dari kepala.
Sarung merupakan simbol mabbulo
sipeppa atau persatuan, itu tergambar jalinan dan kumpulan lembaran benang
yang disatukan kemudian diolah dan ditenun.
sarung
sebagai simbol persatuan dan penutup aurat
Fungsi utama
sarung sebagai penutup aurat, demikian pula halnya suami-isteri. Istri adalah
pakaian dari suami, dan suami merupakan pakaian bagi istri, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Al-Qur’an: “hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna”
(QS. 2:187),Artinya “mereka itu istri-istrimu adalah pakaian bagimu dan kamu
pun selaku suami adalah pakaian dari mereka”.
Penggunaan
empat lembar sarung yang disusun dalam suatu lingkaran mengandung makna
kesiapan calon mempelai memasuki kehidupan berumah tangga dengan terlebih
dahulu membersihkan 4 hal, yaitu mapaccing ati artinya bersih hati, mapaccing
nawa-nawa artinya bersih fikiran, mapaccing pangkaukeng artinya
bersih/baik tingkah laku, dan mapaccing ateka artinya bersih
I’tikat.
Daun pisang. Pisang adalah simbol serbaguna
karena seluruh bagian dari pohon pisang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Pisang
merupakan tanaman produktif karena sekali kita menanam pisang, akan tumbuh dan
berkembang, patah tumbuh hilang berganti. Sama halnya dengan manusia hidup dan
berkembang dari generasi ke generasi melalui perkawinan.
Panasa
sebagai simbol cita-cita atau mamminasa
Daun nangka. Nangka adalah simbol cita-cita,
dalam bahasa Bugis disebut ‘panasa’ yang mengandung makna mamminasa,
yang memiliki arti tekad dan cita-cita. Setiap pasangan suami istri ingin
menjadikan rumah tangganya senantiasa dalam keadaan tenteram dan bahagia
didampingi oleh istri dan anak-anak yang saleh dan sakinah sebagaimana hadist
Nabi Muhammad SAW: “baiti jannati” yang artinya rumahku adalah surgaku.
Daun pacci/pacar adalah simbol kebersihan atau
kesucian karena daun pacci itu digunakan sebagai pemerah kuku atau penghias
kuku, belo-belo kanuku. Sebagaimana yang tercantum dalam pantun Bugis
tadi yang berbunyi “DUA MI UWALA SAPPO, BELO NA KANUKUE, UNGANNA PANASAE”.
Terjemahan bebasnya : hanya dua kujadikan perisaiku yaitu pacci (kesucian)
dan lempu’(kejujuran). Peribahasa ini berlaku bukan hanya dalam hal
pernikahan, tetapi hadir dalam setiap dimensi kehidupan masyarakat Bugis.
Lilin adalah simbol penerangan dan
pengabdian; digunakan sewaktu gelap sebagai penerang dan sebagai simbol
pengabdian terhadap keluarga, masyarakat, agama, bangsa, dan negara.
Simbol-simbol yang disebutkan di atas diharapkan
dalam melayarkan bahtera hidup dan kehidupan calon pengantin selalu didasari
oleh 3E yaitu: Etos, Etis, dan Estetika dalam mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat. Insyaa Allah
No comments:
Post a Comment